"Karena orang-orang sudah pasti
terpengaruh oleh saya, saya ingin berusaha dan
memperbaiki kerusakan besar yang mungkin telah
saya lakukan." (Anthony Flew)
Pernyataan para
pendukung evolusi bahwa Homo floresiensis
merupakan suatu spesies tersendiri yang terpisah
dari manusia zaman modern semakin memudar di
hadapan penentangan yang semakin menguat. The
Times Online, edisi internet dari surat
kabar The Times dan The Sunday Times,
merangkum sejumlah perkembangan terakhir seputar
bahasan tersebut dalam kalimat berikut:
"Sebuah temuan yang diumumkan sebagai
penemuan terbesar di bidang antropologi selama
seabad telah terpuruk dan menjadi salah satu
sengketa tersengit di bidang itu." (1)
Perkembangan yang menyulut api perselisihan
tersebut adalah adanya para pakar lain yang
mendukung pandangan para ilmuwan Indonesia yang
berkeberatan atas dikemukakannya H. floresiensis
sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah
dari Homo sapiens. Yang terkemuka dari
sederetan ilmuwan tersebut adalah ilmuwan Australia
Dr. Maciej Henneberg dan Dr. Alan Thorne, dan
para peneliti dari Field Museum Chicago
di Amerika.
Sejumlah sanggahan baru, sebagaimana yang dilontarkan
oleh para ilmuwan Indonesia, menegaskan bahwa
Manusia Flores mungkin telah menderita penyakit
syaraf yang dikenal sebagai microcephaly
(kelainan berupa kepala yang berukuran kecil).
Dukungan penting bagi pandangan ini datang dari
Profesor Maciej Henneberg, ilmuwan anatomi dan
pakar palaeopatologi selama 32 tahun. Henneberg,
ketua Departement of Anatomical Sciences,
the University of Adelaide, Australia,
pertama-tama mengkaji hasil pengukuran tengkorak
Manusia Flores yang diterbitkan di situs internet
majalah Nature. Di sinilah ilmuwan tersebut
teringat akan tengkorak lain dengan bentuk dan
ukuran yang mirip. Tengkorak tersebut adalah
spesimen Homo sapiens berusia 4.000 tahun
yang didapatkan dalam penggalian di pulau Kreta.
Tengkorak milik individu H. sapiens ini
memiliki ukuran agak kecil, dan para ilmuwan
yang menelitinya telah menjelaskan fenomena
ini sebagai microcephaly.
Berdasarkan hasil perbandingan statistik yang
ia lakukan pada 15 hasil pengukuran tengkorak,
ilmuwan Australia itu mengungkapkan bahwa terdapat
"perbedaan tidak nyata" antara keduanya.
Henneberg, yang sanggahannya diberitakan dalam
jurnal terkenal terbitan Amerika Serikat Science
(2),
menyimpulkan bahwa ukuran tengkorak Manusia
Flores diakibatkan oleh microcephaly.
Peneliti tersebut juga menyatakan bahwa anatomi
wajah Manusia Flores masih dalam batas H.
sapiens.
Pengkajian lain oleh Henneberg yang mengungkap
hasil mengejutkan tentang Manusia Flores adalah
perhitungannya tentang tulang lengan depan (radius)
yang ditemukan di dalam sebuah gua. Dari panjang
tulangnya, yang ditetapkan sebagai 210 mm (8,3
inci), Henneberg menghitung bahwa pemiliknya
bertinggi tubuh antara 151 dan 162 cm (4,9 -
5,3 kaki). Angka ini agak lebih besar daripada
1 meter (3 kaki) yang diduga merupakan ukuran
tinggi Manusia Flores, dan masih dalam batas
yang dianggap normal untuk manusia zaman sekarang.
Henneberg mengumumkan kesimpulan yang ia capai
sebagai hasil dari penelitian ini:
"Hingga tambahan tulang-tulang lain dari
'spesies baru' dugaan ini diketemukan, saya
akan tetap menyatakan bahwa suatu kondisi
yang sudah sangat dikenal yang diakibatkan
oleh penyakitlah yang menjadi penyebab timbulnya
penampakan khusus dari rangka tersebut." (3)
Sebagaimana dijelaskan
para ilmuwan, perbedaan dalam hal ukuran
tengkorak maupun struktur rahang antara
Manusia Flores dan Homo sapiens dapat
dijelaskan dengan fenomena microcephaly
(kelainan berupa ukuran kepala yang kecil).
Peneliti evolusi manusia terkemuka lainnya,
antropolog Dr. Alan Thorne dari Australian
National University, menyatakan penemuan
Manusia Flores hanya memperlihatkan bahwa "tak
seorang pun memperkirakan sesuatu seperti itu
ada di sana," dan menyebutkan bahwa adalah melebih-lebihkan
fakta untuk menyatakan H. floresiensis
mewakili suatu spesies tersendiri. (4)
Robert Martin, ilmuwan primatologi dari
Field Museum Chicago, dan arkeolog James
Phillips melontarkan pernyataan berikut yang
mendukung teori microcephaly berkaitan
dengan volume otak Manusia Flores yang berukuran
kecil:
"Satu-satunya tengkorak adalah milik seorang
perempuan yang menderita microcephaly,
suatu kelainan yang jarang terjadi yang berakibat
pada kepala dan otak yang berukuran kecil.
Microcephaly menyebabkan wajah tumbuh
pada laju yang normal, tapi kepalanya tidak.
Orang [tersebut] akhirnya berdahi miring dan
tanpa dagu -- persis seperti Hobbit."
(5)
(Hobbit: Julukan untuk Manusia
Flores yang diambil dari film The Lord
of the Rings.)
Karena sejumlah sanggahan ini, tidak beralasannya
penggambaran Manusia Flores sebagai suatu spesies
tersendiri yang terpisah dari H. sapiens
sekali lagi terungkap. Pengkajian oleh Henneberg
sudah pasti berperan besar dalam hal ini: karena
individu H. sapiens yang berusia 4.000
tahun dikabarkan telah menderita kelainan microcephaly,
lalu mengapa Manusia Flores, dengan ukuran tengkorak
yang sama, digambarkan sebagai suatu spesies
yang berbeda?
Barangkali penafsiran paling mencolok tentang
debat seputar Manusia Flores ini berasal dari
Robert Matthews, seorang penulis ilmu pengetahuan
yang berpengalaman untuk surat kabar Inggris
The Sunday Telegraph. Matthews mendukung
gagasan microcephaly, dan mengecam keinginan
sebagian kalangan untuk menampilkan Manusia
Flores sebagai suatu spesies tersendiri. Ia
juga mengutip skandal Manusia Nebraska, salah
satu skandal terbesar dalam sejarah paleoantropologi,
dalam mengungkap betapa tidak beralasannya keinginan
itu. Dengan judul utama "Big Claims, meagre
evidence; welcome to palaeontology"
(Klaim Besar, bukti sangat kurang; selamat datang
di palaeontologi), Matthews menulis:
"Minggu yang lain, dan perseteruan yang lain
lagi di kalangan ilmuwan tentang sejumlah
tulang kuno dan pernyataan tentang telah ditemukannya
suatu spesies manusia baru yang lain lagi.
Kali ini perselisihan tersebut tertuju pada
penemuan tulang belulang berusia 18.000 tahun
milik sejenis manusia dengan tinggi badan
3 kaki di pulau Flores, Indonesia.
... para ilmuwan yang menggalinya telah menerbitkan
makalah di jurnal Nature, mengumumkannya
sebagai suatu spesies baru manusia, dan memberinya
nama Latin yang terdengar indah: Homo floresiensis.
Kemudian, sebagaimana kebiasaan lama, para
ilmuwan lain bermunculan untuk membantah klaim
tersebut sebagai terlalu dini. Seorang pakar
terkemuka di bidang palaeoanatomi mengatakan
kepada jurnal tandingan Science bahwa
tengkorak berusia 18.000 tahun yang seukuran
dengan jeruk besar tersebut mirip dengan tengkorak
yang ditemukan di pulau Kreta yang merupakan
milik spesimen berusia 4.000 tahun dari jenis
Homo sapiens kuno yang sudah terlalu
sering, dengan microcephaly sekunder,
suatu keadaan yang ditandai dengan tengkorak
yang secara tidak wajar berukuran kecil.
... Microcephaly sekunder memiliki
banyak sekali penyebab, mulai dari infeksi
virus selama kehamilan hingga luka atau kekurangan
gizi ketika baru lahir. Spesimen-spesimen
tersebut ditemukan di sebuah gua di suatu
pulau. Siapakah yang bisa mengatakan bahwa
pulau itu belum pernah dilanda wabah virus
18.000 tahun lalu yang menyebabkan berjangkitnya
kelainan tersebut? Atau mungkin penghuni [pulau
itu] telah terkena wabah itu di tempat lain
di gugusan kepulauan Indonesia, dan telah
diusir ke Flores karena penampakan mereka
yang aneh.
Atau mungkin saja bahwa mereka yang mengidap
microcephaly sekunder dapat bertahan
hidup dan bahkan beranak pinak: kelainan itu
tidak selalu harus dihubungkan dengan kecerdasan
yang rendah. Sebenarnya, [tingkat kecerdasan]
bukan dikarenakan ukuran otak yang kecil saja:
penentu terpenting adalah jumlah bagian [otak
yang berwarna] abu-abu. Karena bagian ini
tidak terawetkan pada sisa-sisa peninggalan
fosil, kita tidak memiliki gambaran apakah
para "hobbit" tersebut cerdas,
bodoh atau biasa saja. Apa yang jelas adalah
bahwa para palaeontolog terlalu bernafsu mendasarkan
klaim besar pada bukti yang sudah dipastikan
sangat kurang. Ini adalah kecenderungan kuat
yang tidak begitu membantu mereka di masa
lalu. Pada tahun 1922, pakar fosil Amerika,
Henry Fairfield Osborn menjadi judul utama
pemberitaan dengan mengumumkan penemuan tentang
apa yang ia nyatakan sebagai kera mirip manusia
pertama yang pernah ditemukan di Amerika,
yang ia beri nama Hesperopithecus (
yang berarti "Ape from the Land of the
Evening Sun" atau Kera dari Daratan Matahari
Sore").
Ilmuwan anatomi terkenal Profesor Grafton
Elliot Smith dari London University
melangkah lebih jauh, ia bersikukuh bahwa
Hesperopithecus setidaknya merupakan
"anggota paling awal dan paling primitif dari
keluarga manusia yang masih dapat ditemukan".
Namun apakah bukti dari klaim yang lantang
ini? Sebuah gigi tunggal yang sudah menjadi
fosil yang ditemukan di Nebraska.
Tanggapan Prof Smith kepada mereka yang meragukan
kearifan berpegang pada bukti yang sangat
sedikit sungguh mirip dengan apa yang kini
sedang dilakukan oleh para penemu Manusia
Hobbit dari Flores: "Orang akan memandang
kesimpulan yang demikian sangat penting dengan
keraguan", ujar Prof Smith, "jika saja
bukan karena kepakaran para ilmuwan Amerika
di bidang itu yang tidak perlu dipertanyakan
lagi."
Gertakan itu tidak menyurutkan langkah
the American Museum of Natural History untuk
mencari bukti lebih lanjut. Bukti itu ditemukan
di saat yang tepat di Nebraska, dan mengungkap
bahwa "Hesperopithecus" tak lebih
dari seekor babi punah. Prof Smith di kemudian
hari menjadikan dirinya tenar dengan membuat
gambar populer dari manusia Neanderthal
sebagai manusia berpenampilan dungu yang sedang
mengunyah tulang, sembari pula mendukung klaim
bahwa potongan-potongan tengkorak yang ditemukan
di Inggris pada tahun 1912 adalah milik nenek
moyang tertua H. sapiens yang pernah
diketahui. Di kemudian hari diketahui bahwa
manusia Neanderthal "khas bikinan"
Prof Smith sebenarnya adalah seorang pria
yang diketahui pasti tidak bertubuh normal
dan bungkuk karena menderita radang sendi.
Sedangkan mengenai potongan tulang tengkorak,
ternyata berasal dari sebuah lubang galian
di Sussex yang dikenal sebagai Piltdown; kelanjutannya
bisa dipahami.
Tampaknya, tak satu pun dari kejadian ini
menyurutkan semangat para palaeontolog untuk
terus mengkhayal tentang keberadaan lebih
banyak lagi "spesies" di luar pohon
kekerabatan manusia. Semua yang dibutuhkan
adalah beberapa potongan tulang yang tidak
biasa ditambah dengan kamus bahasa Latin yang
bagus, dan tempat dalam sejarah palaeontologi
pun akan diperoleh.
Semuanya tampak bergantung pada bisa tidaknya
potongan tulang tersebut dianggap "tidak
seperti biasanya" sehingga berada di
luar batasan spesies mana pun yang diketahui.
Orang ngeri membayangkan kesimpulan apa yang
akan dicapai para palaeontolog jika mereka
diberi tulang belulang seorang cebol zaman
sekarang dan seorang penambang minyak dari
Texas." (6)
Kesimpulan:
Fakta yang terungkap melalui perkembangan ilmiah
terkini tentang Manusia Flores maupun pelajaran
dari sejarah sebagaimana yang diingatkan oleh
Matthews adalah: Para ilmuwan evolusionis dan
media massa sama-sama sangat bernafsu untuk
menampilkan dan memberitakan fosil-fosil yang
baru ditemukan sebagai spesies baru. Hasilnya,
hampir setiap penemuan fosil diumumkan dengan
kehebohan dan kegemparan besar oleh media massa,
meskipun klaim ini lalu dengan senyap terbantahkan
di kemudian hari.
Perkataan berikut dari Robert Locke, editor
pelaksana majalah Discovering Archaeology,
tentang penelitian di bidang palaeoantropologi
adalah menyerupai gambaran tentang keraguan
dan propaganda fanatik yang melingkupi pengkajian
di bidang ini:
"Mungkin tidak ada bidang ilmu pengetahuan
yang lebih banyak dipenuhi persengketaan daripada
pencarian tentang asal usul manusia. Para
paleontolog terkemuka saling tidak sepakat
bahkan mengenai bagan paling mendasar dari
pohon kekerabatan manusia sekalipun. Cabang-cabang
baru bermunculan di tengah-tengah keriuhan,
hanya untuk kemudian layu dan mati di hadapan
temuan-temuan fosil baru." (7)
Akan tetapi, skenario khayal evolusi manusia,
yang dipertahankan keberadaannya melalui propaganda,
hasutan, pemutarbalikan fakta dan bahkan pemalsuan,
akan pasti tersingkirkan di hadapan penemuan-penemuan
ilmiah modern. Hal ini dikarenakan temuan ilmiah
nyata mengungkap bahwa kehidupan terlalu rumit
untuk dapat terbentuk melalui ketidaksengajaan,
dan bahwa mekanisme mutasi acak dan seleksi
alam tidak dapat menjelaskan keberadaan informasi
genetik pada DNA suatu spesies. Klaim evolusi
seputar masalah tersebut tidak lagi memiliki
dasar ilmiah di hadapan penemuan-penemuan yang
dibuat hampir setiap harinya. Karenanya tak
dapat dihindarkan, upaya dari mereka yang meyakini
bahwa memaparkan kisah khayal tentang masa lampau
berdasarkan kemiripan antartulang sebagai ilmu
pengetahuan akan berakhir dengan kegagalan.
Manusia diciptakan oleh Allah, beserta seluruh
perangkat sempurna pada tubuhnya. Hal ini dinyatakan
Allah dalam Al Qur'an:
Yang membuat segala sesuatu
yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian
Dia menjadikan keturunannya dari saripati
air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya
dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur. (Al Qur'an, 32: 7-9)
Keterangan gambar: Sebagaimana
dijelaskan para ilmuwan, perbedaan dalam hal
ukuran tengkorak maupun struktur rahang antara
Manusia Flores dan Homo sapiens dapat
dijelaskan dengan fenomena microcephaly
(kelainan berupa ukuran kepala yang kecil).
1- Nigel
Hawkes, "Kidnap marks the latest chapter in
Hobbit's story," Times Online, December 4, 2004;
online at: http://www.timesonline.co.uk/article/0,,3-1386936,00.html
2- Michael Balter, "Skeptics Question Whether
Flores Hominid Is a New Species," Science, Vol
306, Issue 5699, 1116 , November 12, 2004
3- Maciej Henneberg, "Why The 'Hobbitt' May
Not Be a New Species of Humans;" online at:
http://www.thinkinganglicans.org.uk/archives/000884.html
4- Heather Catchpole, "Tiny Human a Big Evolutionary
Tale," October 27, 2004; online at: http://dsc.discovery.com/news/afp/20041025/tinyhuman.html
5- Jim Ritter, "Experts here knock claim of
new 'Hobbit' species," Chicago Sun-Times, November
16, 2004; online at: http://www.suntimes.com/output/news/cst-nws-human16.html
6- Robert Matthews, "Big claims, meagre evidence;
welcome to palaeontology," The Telegraph, December
8, 2004; online at: http://gardening.telegraph.co.uk/connected/main.jhtml?xml=/connected/2004/12/08/ecrqed08.xml
7- Robert Locke, "Family Fights," Discovering
Archaeology, July/August 1999, h. 36-39